Oleh: Muhammad Arifin, S.I.P.
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Darma

Prof. Isnawijayani, M.Si., Ph.D.
Guru Besar Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Darma

Lidah sering disebut sebagai “tak bertulang,” sebuah peribahasa yang mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berbicara. Ucapan yang keluar dari mulut seseorang bisa menjadi sumber kebaikan, tetapi juga dapat memicu konflik besar. Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga cara membangun hubungan, memengaruhi pandangan, dan menciptakan kepercayaan.

Dalam konteks kepemimpinan, komunikasi memegang peran sentral. Pemimpin bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga komunikator utama dalam organisasi maupun pemerintahan. Kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota memiliki peran strategis dalam menjalankan pemerintahan, menjaga ketertiban, serta mengayomi masyarakat. Untuk menjalankan peran tersebut, kemampuan berkomunikasi dengan baik menjadi kunci utama keberhasilan kepemimpinan.

Menurut teori kepemimpinan transformasional dari James MacGregor Burns, kepemimpinan yang efektif bukan sekadar mengatur, tetapi juga menginspirasi dan membangun hubungan emosional dengan pengikutnya. Salah satu unsur terpenting dalam kepemimpinan transformasional adalah komunikasi yang visioner, empatik, dan persuasif. Pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan gaya yang baik dapat menggerakkan masyarakat menuju tujuan bersama dengan lebih mudah.

Contoh nyata pentingnya gaya komunikasi pemimpin dapat kita lihat dari peristiwa di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2025, Bupati Pati, Sudewo, mengusulkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%. Alasan kebijakan ini cukup logis, yakni karena pajak tersebut tidak pernah naik selama 14 tahun. Namun, permasalahan muncul bukan pada substansi kebijakan, melainkan pada cara penyampaian.

Rencana aksi protes masyarakat yang awalnya melibatkan sekitar 5.000 orang justru disambut Bupati dengan pernyataan menantang, bahwa bahkan jika 50.000 orang berdemo, ia tidak akan mengubah keputusan. Ucapan ini memicu kemarahan publik, memperbesar aksi massa, dan membuat situasi semakin panas. Puluhan ribu masyarakat turun ke jalan, menuntut pembatalan kebijakan bahkan mendesak agar sang Bupati mundur. Peristiwa ini menjadi viral dan mendapat perhatian nasional hingga akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa komunikasi pemimpin memiliki daya pengaruh besar terhadap dinamika sosial. Teori komunikasi kepemimpinan dari W. Charles Redding menyatakan bahwa efektivitas komunikasi pemimpin bergantung pada tiga aspek utama: openness (keterbukaan), empathy (empati), dan supportiveness (dukungan). Ketika pemimpin gagal menunjukkan ketiga hal tersebut, kepercayaan masyarakat akan mudah goyah dan resistensi meningkat.

Pemimpin yang baik bukan hanya mampu berbicara di depan publik, tetapi juga mampu mendengar aspirasi rakyatnya. Ia harus memahami konteks sosial dan emosi masyarakat, lalu merespons dengan tutur kata dan kebijakan yang bijaksana. Dalam situasi krisis, gaya komunikasi yang tenang, terbuka, dan solutif dapat meredam ketegangan serta menjaga stabilitas sosial.

Lebih jauh lagi, komunikasi juga merupakan fondasi dari legitimasi kepemimpinan. Seperti ditegaskan dalam teori legitimasi sosial, kepercayaan publik lahir dari persepsi bahwa pemimpin mampu mendengarkan, memahami, dan berinteraksi dengan masyarakat secara adil. Ketika masyarakat merasa didengar, mereka lebih siap menerima kebijakan, bahkan yang sulit sekalipun.

Oleh karena itu, gaya komunikasi bukan sekadar pelengkap dalam kepemimpinan, melainkan aspek esensial yang menentukan keberhasilan pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin yang komunikatif, terbuka, dan bijak dalam berbicara akan lebih mudah membangun hubungan harmonis dengan rakyatnya. Dalam konteks pemerintahan modern, komunikasi bukan hanya alat menyampaikan pesan, tetapi juga jembatan antara kekuasaan dan kepercayaan publik.

Penutup

Peristiwa di Kabupaten Pati menjadi contoh nyata bahwa pemimpin tidak hanya dinilai dari kebijakannya, tetapi juga dari cara ia berkomunikasi. Gaya komunikasi yang baik dapat menciptakan kedamaian dan memperkuat legitimasi kepemimpinan, sedangkan komunikasi yang buruk dapat memicu gejolak besar. Seorang pemimpin sejati harus mampu menggunakan kata-kata sebagai sarana membangun, bukan meruntuhkan. Sebagaimana ditegaskan dalam teori kepemimpinan modern, komunikasi bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan kekuatan strategis yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *